Janengan


Janengan, Kearifan Lokal dari Kebumen

 


Janengan merupakan salah satu kebudayaan asli yang tumbuh dan berkembang di Kebumen. Sebagian masyarakat ada yang menyebutnya Jamjaneng, dan ada pula yang menyebutnya Janengan. Janengan ini, biasanya terdengar sayup-sayup di malam hari dari kejauhan, suara bambu yang dipukul dengan intonasi dan nada yang sesuai iraman. Suaranya akan terdengar lebih keras dan jelas apabila kita tidak mendengarkannya dengan sengaja dan seksama, sedangkan apabila kita memiliki niat dan berusaha memperhatikannya, suara tabuhan bambu tersebut akan lebih pelan dan samar-samar.  Kata Janengan atau Jamjaneng itu sendiri berasal dari kata Zamjani, yang merupakan nama tokoh yang dipercaya sebagai pencipta musik tradisional Islam-Jawa ini. Karena pada saat kesenian itu diciptakan, belum memiliki nama dan sebutan, sehingga masyarakat menyebutnya berdasarkan dari orang yang menciptakan dan memperkenalkannya, yaitu Syekh Zamzani.

Secara  singkat sejarah dari kesenian jamjaneng / janengan ini erat kaitannya dengan keraton Mataram Islam. Walaupun sumber sejarah kesenian ini banyak versinya, namun sumber paling akurat awal kemunculan kesenian jamjaneng berkaitan dengan adanya acara sekaten di Yogyakarta. Karena pada zaman dahulu masyarakat Kebumen yang nota-benenya masih sedikit yang beragama Islam maka seorang ulama membuat kesenian ini sebagai media penyebaran Islam. Kesenian Jamjaneng terinspirasi dari acara Sekaten yang  menggunakan alat musik bermacam-macam, yang diadakan di kota Yogyakarta oleh sunan  Kalijaga.
Kesenian Janengan ini diciptakan oleh seorang ulama yang menyebarkan agama Islam di daerah Kebumen yang bernama Syeikh Zamzani atau Jamjani. Dan sampai saat ini, asal daerahnya masih belum diketahui secara pasti, karena sebagian masyarakat ada yang mengatakan bahwa Syekh Zamzani berasal dari Desa Krakal, Kecamatan Alian, namun ada beberapa pula yang mengatakan beliau berasal dari Kecamatan Karangsambung.
Dari alat musik yang bermacam-macam itu, beliau ingin memiliki alat musik yang sama  digunakan pada acara sekaten tersebut. Kemudian para seniman dikumpulkan untuk membantu membuat alat-alat musik bersama Kyai Jamjani. Namun karena alat-alat tersebut seperti saron, demung, gong dsb tidak terjangkau maka diganti dengan alat berbahan baku yang ada di sekitar daerah sendiri seperti dari poksor kayu glugu (kayu kelapa) sebagai bahan baku gong, kulit sapi untuk membrannya dan thulingnya terbuat dari bambu. Karena mudahnya bahan baku tersebut maka masyarakat secara mudah gethok tular (memberi kabar) pada masyarakat kebumen dan juga disajikan sebagai tontonan hiburan bagi masyarakat. Makna yang terkandung dalam syair lagu kesenian Janengan yakni berkaitan dengan hal-hal agama dan kebaikan. Makna-makna yang terkandung dalam syair-syair lagu kesenian jamjaneng adalah
1.        Judul “Assalam” makna yang terkandung di dalam syair ini, mengajarkan kita tentang pengucapan salam. Apabila kita berjumpa dengan seseorang ataupun berkumpul di suatu majlis dan hendaklah menunjukan wajah yang ceria dan gembira.
2.        Syair berjudul “Laa Ilaaha illallah” makna yang terkandung sangat mendalam, yakni merupakan inti dasar Akidah Islam yakni syahadat tauhid dan syahadat Rasul.
3.        Syair yang berjudul “Bismillahirrohmanirrohim” menjelaskan tentang sifat Alloh SWT yang maha besar dan maha suci, juga menjelaskan tentang macam-macam mu’jizat Nabi beberapa diantaranya yaitu  4: mukjizat yang pertama adalah Kitab suci al-Qur’an, kedua wajahnya silau berseri, ketiga selalu di ikuti awan atau mendung ketika beliau bepergian, mukjizat Nabi yang ke empat ialah ketika beliau berdagang selalu habis dan mendapat untung. 
4.        Syair yang berjudul “Dzikrulloh” dan “Yo Elingo” ini berisikan ajakan untuk selalu mengingat Allah baik secara jahr maupun sir sebagai Tuhan yang menjadi muara kehidupan.
5.        Syair yang berjudul “Bagus Endi” mengandung makna bahwa sebagai manusia yang hidup di dunia tidak boleh bersikap sombong gara-gara ketampanan yang dimiliki. Sebab sikap sombong yang dimiliki manusia adalah hasutan dari setan. Bertemakan Sosial.
6.        Syair yang berjudul “Sugeh Endi” mengandung makna bahwa sebagai manusia yang hidup dengan harta yang melimpah tidak boleh kikir dan lupa kepada Allah SWT. Karena dalam sebagian harta yang kita miliki adalah hak fakir miskin yang harus disantuni.
7.        Syair yang berjudul “Ayu Endi” penulis lebih menafsirkan penutupan aurat bagi kaum wanita dengan cara berhijab sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.

Pada awalnya alat musik Janengan hanya terdiri dari alat-alat perkusi yang berjumlah tujuh buah. Oleh karena itu jumlah minimal pemain Janengan adalah tujuh orang. Di Kebumen sekarang ini jumlah orang yang terlibat dalam permainan musik antara lima belas sampai duapuluh orang yang biasanya tediri dari seorang dalang, tujuh orang penabuh alat musik dan sejumlah orang anggota sebagai penjawab syair.
Seni tradisi Janengan memadukan musik Jawa dan syi’iran (singiran). Dalam Janengan lagu syi’iran terdiri dari shalawat dan syi’ir Jawa. Namun juga terdapat lagu-lagu Janengan yang hanya terdiri dari bait-bait lagu syi’ir Jawa. Salah satu teknik menyanyikan lagu-lagu dalam Janengan adalah penyanyi melagukannya dengan suara melengking dan dengan nada yang sangat tinggi. Kemampuan bernyanyi semacam ini jarang dimiliki, para pegiat seni Janengan. Oleh karena itu, pemimpin Kelompok Janengan yang ada sekarang kebanyakan telah merubah teknik semacam ini dan menggantinya dengan nada yang lebih rendah dan tidak melengking. Karena alasan ini pula biasanya pimpinan Janengan yang biasanya disebut dengan dalang merupakan orang yang memiliki kemampuan dan kualitas suara melengking. Dalang merupakan pemimpin kelompok Janengan yeng bertugas mengatur irama Janengan dari mulai pembukaan sampai penutup.
Menurut salah satu sesepuh kelompok Janengan “Margo Eling”, untuk mendapatkan suara semacam itu seseorang harus melakukan gurah sekaligus laku untuk menghindari makanan tertentu seperti trancam terong, dan makanan lainnya yang akan berpengaruh terhadap kualitas suara seseorang. Kualitas suara tinggi dan kemampuan untuk melantunkan lagu dalam waktu yang sangat lama tentu sangat dibutuhkan, mengingat Janengan biasa berlangsung sampai tengah malam, bahkan seringkali semalam suntuk. Salah seorang pegiat Janengan menuturkan dalam acara Janengan rutin biasanya berlangsung dari mulai jam 20.00 WIB sampai jam 00.00 WIB.


Sumber :

Komentar

Postingan Populer